Rabu, 29 Mei 2013

Al Attas dan Teori Islamisasi Nusantara



Saat mengucapkan pidato pengukuhannya sebagai professor di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) tahun 1972 dalam bidang Bahasa dan Kesusateraan Melayu, Syed M. Naquib Al-Attas menyampaikan makalah berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Pidato pengukuhan guru besar semacam ini adalah yang pertama kali dilakukan di perguruan-perguruan tinggi di Asia Tenggara. Akan tetapi, yang menarik dari acara itu bukan seremoni kegiatannya, melainkan pokok-pokok pikiran yang ditulis dalam naskah pidatonya mengenai Islamisasi di wilayah kepulauan Nusantara.

Pada umumnya, ketika berbicara mengenai Islamisasi kepulauan Nusantara, pembicaraan lebih difokuskan pada fakta-fakta yang sifatnya artefak peninggalan zaman Islam atau catatan-catatan perjalanan yang mengisahkan pertemuan dengan komunitas Muslim di wilayah ini. Kita perhatikan beberapa perdebatan teoretis mengenai masuknya Islam ke wilayah ini. Semua berakar pada fakta-fakta kasat mata yang bersifat artefak belaka.

Salah satu teori yang populer di ataranya teori Gujarat. Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 dari Gujarat. Dasar teori ini antara lain: (a) hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Gujarat – Timur Tengah – Eropa; (b) adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al-Saleh pada 1297 yang bercorak khas Gujarat. Pendukung teori Gujarat di antaranya adalah Snouck Hurgronje, W. F. Stutterheim, Bernard H. M. Vlekke, Pijnappel dan Moquette. Berdasar fakta-fakta itu kemudian disimpulkan bahwa Gujarat (India) sangat penting dalam proses Islamisasi.

Teori berikutnya adalah teori Persia. Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Persia (Iran) dan bermazhab Syi’ah. Dasar teori ini adalah adanya kesamaan budaya Persia dengan beberapa budaya masyarakat Islam Indonesia, sepert Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah. Di Sumatra Barat peringatan itu disebut dengan upacara Tabuik (Tabut), sedangkan di Pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syura. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jenar dengan sufi dari Persia, yaitu Al-Hallaj. Penggunaan bahasa Persia dalam sistem mengeja huruf Al-Qur’an untuk tanda-tanda bunyi harakat, terutama di Jawa Barat. Arab mengeja dengan fathah, kasrah dan dhammah, sedangkan Persia menyebutnya jabar, je-er dan py-es. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang meninggal pada 1419. Menurut para sejarawan, ulama ini berasal dari Persia. Adanya perkampungan Leran di Giri daerah Gresik. Leran adalah nama salah satu suku di Persia.

Teori Cina lain lagi. Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Cina. Pendukung teori ini di antaranya adalah Slamet Mulyana. Menurutnya, Sultan Demak dan para Wali Sanga adalah keturunan Cina. Pendapat ini bertolak dari Kronik Klenteng Sam Po Kong yang menyebutkan nama-nama Wali Sanga dengan nama Cina. Namun, teori ini sangat lemah. Menurut budaya Cina, dalam penulisan sejarah nama tempat yang bukan Cina dan nama orang yang bukan Cina, juga dicinakan penulisannya. Selain itu, Islam sudah masuk dan menyebar di Indonesia sebelum masa Wali Sanga.

Bahkan teori yang juga dipegangi, yaitu teori Arab, juga mendasarkan analisis pada hal-hal yang sifatnya artefak dan berita pelancong. Menurut teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad 7 dari Arab (Mekah dan Mesir). Dasar teori ini adalah pada abad ke-7, yaitu pada 674, di pantai barat Sumatra telah terdapat perkampungan Islam (Arab). Sumber informasi ini berasal dari berita Cina Dinasti Tang. Kerajaan Samudra Pasai menganut mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekah. Adapun Gujarat adalah penganut mazhab Hanafi. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al-Malik. Gelar tersebut berasal dari Mesir. Pendukung teori Arab di antaranya adalah Hamka, A. Hasymi, C. J. van Leur, T. W. Arnold dan John Crawfurd.

Pendekatan-pendekatan yang melulu didasarkan pada bukti-bukti artefak pada akhirnya malah mengarahkan pada kesimpulan-kesimpulan sumir mengenai pengaruh Islam ke negeri ini. Salah satunya adalah anggapan sebagian besar orientalis bahwa Islam hanya berperan di permukaan saja dalam proses Islamisasi. Islam hanya seperti pelitur yang kalau dibersihkan akan tampak segera warna aslinya. Warna asli itu bukanlah Islam, melainkan jejak peninggalan Hindu-Budha. Pendapat semacam ini umpamanya dilontarkan oleh van Leur. Sekalipun ia setuju dengan Arnold dan Crawfurd tentang asal-usul Islam dari tanah Arab, namun baginya Islam tidak membawa perubahan asasi dan tidak pula membawa peradaban yang lebih luhur dibandingkan dnegan peradaban yang ada sebelumnya, yaitu peradaban Hindu dan Budha.

Pandangan inilah yang ingin dipatahkan oleh Al-Attas melalui bukunya. Al-Attas sendiri sesungguhnya termasuk yang mendukung teori terakhir ini. Akan tetapi, yang menarik dari Al-Attas bukan soal kesimpulannya yang ini, melainkan pendekatan analisisnya sebagaimana ia paparkan dalam bukunya di atas. Baginya, Islam berasal dari Arab sudah semestinya. Sekalipun melalui tangan siapa saja, bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran pasti akan tetap menjadi dasar penyebaran Islam. Dengan begitu, hulu Islamisasi tetap akan berasal dari Arab sebagai bangsa dan bahasa yang dipilih untuk diturunkannya Nabi Muhammad Saw. dan Al-Quran.

Dalam melihat proses Islamisasi kepulauan Nusantara yang padanya dibawa serta Al-Quran yang berbahasa Arab, Al-Attas justru dengan sangat jeli bagaimana pengaruh konsepsi-konsepsi bahasa Arab Al-Quran dalam mengubah paradigma dan cara pandang masyarakat. Oleh sebab itu, ia berusaha untuk menilik proses Islamisasi itu dari sudut pandang pemikiran dan falsafah. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang jenial dan relatif baru dalam memandang proses Islamisasi. Umumnya, para peneliti barat lebih berfokus pada sudut pandang sosial dan politik dalam melihat aspek-aspek Islamisasi di Nusantara. Pada aspek kebudayaan, terutama pada seni sastra dan artefak sebagai ekspresi kultural, dilihat oleh para peneliti Barat sebagai belum memperlihatkan pengaruh Islam yang signifikan. Bahkan, secara serampangan bahasa yang berkembang di kepulauan Nusantara inipun masih dipengaruhi oleh konsepsi Hindu-Budha. Oleh sebab itu, bagi mereka Islam tidak lebih hanya sebatas menjadi pelitur saja. Orang-orang masuk Islam hanya disebabkan faktor-faktor sosial-ekonomi yang lebih menguntungkan sebagai orang Islam dan faktor politik di mana raja-raja telah banyak yang memeluk Islam.

Al-Attas menolak sudut pandangan seperti itu. Tilikan semacam itu tidak menyentuh aspek paling dalam dari Islamisasi, yaitu pemikiran. Aspek pemikiran ini tidak bisa dilihat dari proses-proses sosial, ekonomi, dan politik. Pun tidak mungkin diungkap apabila analisis terhadap aspek kebudayaan dan bahasa semata-mata dilihat dari hasil-hasil karya sastra yang bersifat seni belaka yang hanya memuja keindahan, tanpa memedulikan isi pemikirannya yang beguna bagi kehidupan. Prosa-prosa yang mengandung unsur-unsur pemikiran serius dan konsepsi kebahasan yang matang banyak diabaikan seperti karya-karya Hamzah Fansuri yang diteliti dalam disertasinya.

Bagi Al-Attas, untuk sampai pada penelusuran pengaruh pemikiran dalam Islam yang nanti berdampak pada pembentukan semesta bahasa yang berlaku di kepulauan Nusantara ini, penelusuran sejarah harus bertumpu pada naskah-naskah tentang hal-hal mendasar dalam mengkonsepsi pemikiran. Tentu saja, naskah-naskah tersebut selain bernilai seni tinggi, juga mencerminkan pemikiran yang mendalam. Kesimpulan pendekatan semacam ini ditawarkan Al-Attas setelah ia secara sangat baik menulis mengenai naskah-naskah tulisan Hamzah Fansuri. Ia berkesimpulan bahwa inilah naskah ”melayu modern” paling penting dan paling berpengaruh hingga penulisnya layak disebut sebagau bapak sastra melayu modern, bukan Abdullah Munsyi yang terpengaruh oleh Barat. Karakter bahasa Melayu seperti yang tercermin dalam karya-karya Hamzah Fansuri inilah yang nanti diikuti oleh para penulis Melayu berikutnya seperti Abdul-Rauf Singkel, Syamsudin Pasai, dan Nurudin Al-Raniry. Semenjak itu pula, bahasa Melayu yang tersebar di masyarakat pun adalah bahasa melayu yang telah mendapat perubahan seperti dalam naskah-naskah Hamzah Fansuri itu.

Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat bahasa seperti yang digunakan oleh Hamzah Fansuri itu disebut baru atau modern dan maju?...SELENGKAPNYA KLIK DI ZILZAAL: Al Attas dan Teori Islamisasi Nusantara

Sabtu, 25 Mei 2013

KEBUDAYAAN SUNDA



Kebudayaan Sunda

Berdasarkan tinjauan etnografis, suku Sunda adalah suku yang secara turun-temurun  menggunakan bahasa ibu, yaitu bahasa sunda. Suku sunda mendiami tanah Pasundan atau Tatar Sunda yang meliputi seluruh propinsi Jawa Barat. Pada bagian timur dibatasi oleh sungai Cilosari dan sungai Citanduy.

a.       Sistem Religi dan Kepercayaan
Masyarakat Sunda sebagian besar beragama Islam.  Selain itu mereka juga masih percaya kepada hal-hal yang bersifat mitos dan tahayul. Seperti  dongeng, dan hal-hal yang bersifat ghaib. Contohnya dalam mitologi petani-petani sunda dikenal dongeng tentang dewi padi yang disebut Nyi Pohaci Sangyang Sri.
b.      Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan masyarakat Sunda adalah bilateral yakni garis keturunan yang memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui ayah dan ibu. Dalam upacara pernikahan suku Sunda dikenal istilah upacara nyawer dan buka pintu.
c.       Sistem Kesenian
1.       Rumah adat
Kraton Kasepuhan Cirebon merupakan model rumah adat masyarakat Sunda. Keraton tersebut terdiri atas empat ruangan, yaitu :
a.       Jinem atau pendopo untuk para penggawa atau penjaga keselamatan Sultan
b.      Pringgondani, tempat sultan memberi perintah kepada para adipati
c.       Prabayasa, tempat sultan menerima tamu istimewa
d.      Panembahan, ruang kerja dan tempat istirahat sultan.
2.       Pakaian adat
3.       Seni tari dan Kesenian lainnya
Tari dari daerah Jawa Barat antara lain, tari topeng kuncaran dan tari kupu-kupu. Alat musik khas Jawa Barat adalah angklung dan calung. Seni vokalnya Cing Cangkeling dan seni wayang golek.
d.      Sistem Politik dan Pemerintahan
                Secara administratif desa di wilayah Jawa Barat dipimpin oleh seorang Kuwu yang didampingi oleh     seorang juru tulis (tugasnya mengurus administrasi desa), tiga orang kokolot (tugasnya menyampaikan perintah dan berita kepada warga), seorang kulisi (tugasnya memelihara keamanan desa), seorang ulu-ulu (tugasnya mengurus pembagian air dan memelihara selokan) , dan seorang amil (mengurus kelahiran, kematian, pernikahan, dan memimpin doa selamatan) , serta tiga pembina desa.

KEBUDAYAAN JAWA



Kebudayaan Jawa

Suku Jawa mendiami Pulau Jawa bagian tengah dan timur. Daerah yang merupakan pusat kebudayaan Jawa adalah dua daerah bekas kerajaan Mataram yaitu Yogyakarta dan Surakarta yang terpecah pada tahun 1775.

a.       Sistem Religi dan Kepercayaan
Mayoritas masyarakat Jawa adalah pemeluk ajaran Islam, disamping itu ada juga pemeluk Nasrani, Hindu dan Budha. Pada suku Jawa yang beragama Islam tidak semua orang melakukan ibadah sesuai dengan kriteria Islam. Secara antropologis menurut Clifford Geertz pemeluk agama Islam terbagi menjadi dua kelompok yaitu Islam Putihan (golongan santri) dan Islam Abangan ( Kejawen).
Orang Jawa mengaitkan upacara-upacara keagamaan dengan “Selametan”, antara lain :
·         Selametan dalam rangka lingkaran hidup seseorang seperti :
1.       Tujuh bulan kehamilan
2.       Kelahiran
3.       Potong rambut yang pertama
4.       Upacara turun tanah
5.       Upacara nindik bayi perempuan
6.       Upacara perkawinan
7.       Upacara kematian
·           Selamatan yang bertalian dengan kehidupan desa seperti :
1.       Bersih desa
2.       Penggarapan tanah pertanian
3.       Masa tanam dan panen
·           Selametan untuk memperingati hari-hari serta bulan-bulan besar Islam
·           Selametan pada saat yang tidak menentu dan berkenaan dengan kejadian-kejadian tertentu seperti :
1.       Melakukan perjalanan jauh
2.       Menempati rumah baru
3.       Menolak bahaya (ngruwat)
4.       Janji ketika sembuh dari sakit (kaul)

b.      Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan masyarakat Jawa didasarkan pada prinsip keturunan bilateral atau parental. Pada masyarakat Jawa, dilarang melakukan perkawinan dengan misan (saudara sepupu).
Pada umumnya masyarakat Jawa tidak mempersoalkan tempat tinggal menetap setelah pernikahan. Ada yang tinggal disekitar tempat mempelai perempuan (uxorilokal), dikediaman mempelai laki-laki (utrolokal). Namun umumnya mereka merasa bangga apabila menempati tempat tinggal baru (neolokal).

c.       Sistem Kesenian
Berdasarkan lokasi, sistem kesenian masyarakat Jawa  mempunyai dua tipe, yaitu tipe Jawa Tengah yang meliputi Banyumas sampai Kediri dan Jawa Timur daerahnya meliputi Jawa bagian timur sampai Banyuwangi dan Madura.
1.       Kesenian Tipe Jawa Tengah
a.       Seni Tari, meliputi tari Srimpi, tari bambang cakil dll.
b.      Seni Tembang, misalnya suwe ora jamu, Gek kepiye, Pitik tukung, dll.
c.       Seni Pewayangan, bentuknya wayang kulit, wayang orang, dan wayang purwa
d.      Seni Teater Tradisional, adalah kethoprak
2.       Kesenian Tipe Jawa timur
a.       Seni Tari dan Teater, diantaranya tari Ngremo, tari Tayuban,  tari Kuda lumping, Reog Ponorogo dan tari Langger.
b.      Seni Pewayangan, bentuknya adalah wayang beber
c.       Seni Suara, misalnya Tanduk Majeng dari Madura, Ngindung dari Surabaya.
d.      Seni Teater Tradisional, berupa ludruk dan Kentrung.
3.       Rumah Adat
Rumah model Jawa Tengah : Limasan dan Joglo. Joglo umumnya terdiri dari tiga ruangan yaitu pendopo, pringgitan, dan dalem.
Rumah model Jawa timur : Rumah model Madura (Model dara gepak dan empyakan )

d.      Sistem Kemasyarakatan dan politik
Dalam stratifikasi masyarakat Jawa terbagi menjadi dua golongan yaitu Priyayi/ bendara dan masyarakat biasa (wong cilik). Priyayi merupakan lapisan atas, sedang wong cilik merupakan lapisan bawah.
Secara administratif, suatu desa di Jawa disebut kelurahan yang dikepalai oleh seorang lurah. Sebutan lurah untuk tiap daerah berbeda-beda misalnya Petinggi, Bekel, Gelondong dll. Dalam menjalankan tugasnya lurang dibantu oleh pamong desa yang meliputi :
1.       Carik, bertugas sebagai  pembantu umum dan penulis desa
2.       Jagatirta, atau ulu-ulu bertugas mengatur air ke sawah-sawah penduduk
3.   Jagabaya, bertugas menjaga keamanan desa.

Kebudayaan Batak

Kebudayaan Batak

Suku Batak menempati daerah pegunungan di Sumatera Utara. Diantara suku-suku Batak tersebut adalah Batak Karo, Batak Toba, Batak Pak-pak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing.
a.       Sistem Religi dan Kepercayaan
-          Masyarakat Batak Mandailing dan  Angkola banyak memeluk agama Islam yang dibawa oleh pedagang Minangkabau sekitar abad 19 M
-          Masyarakat Batak Toba, Batak karo, dan Batak simalungun mayoritas memeluk agama kristen yang dibawa oleh misionaris dari Jerman dan Belanda sekitar tahun 1863 M
-          Selain itu ada juga yang memeluk agama animisme. Pemeluk animisme percaya yang menciptakan alam semesta adalah Debata Mula Jadi, Na Bolon (Toba) atau Dibata Kaci-kaci (Karo). Masyarakat Batak juga mengenal tiga konsep tentang jiwa dan ruh yaitu :
1.     Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
2.     Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
3.     Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam

b.      Sistem Kekerabatan
Orang Batak menghitung hubungan keturunan berdasarkan prinsip patrilineal, yaitu suatu kelompok kekerabatan berdasarkan satu ayah, satu kakek, dan satu nenek moyang. Kelompok kekerabatan terkecil disebut Rips (toba) Jabu (karo). Suatu kelompok kekerabatan besar disebut marga. Dalam sistem perkawinan masyarakat Batak tidak boleh kawin dengan orang semarga (satu marga), karena dianggap masih bersaudara. Sistem perkawinan semacam ini disebut asimetrik konubium.
c.       Sistem Kesenian
a.       Rumah adat masyarakat Batak memiliki beberapa tipe, yaitu :
-          Tipe Batak Toba, konstruksinya kokoh dengan ciri khas tiang-tiangnya terbuat dari kayu gelondongan
-          Tipe Batak karo, merupakan tipe rumah pengungsian. Pintu depan menghadap ke arah hulu dan pintu belakangnya ke arah muara.
-          Tipe Batak Simalungun, bentuk atapnya kadang tidak simetris. Mahkota atapnya menghadap ke empat arah mata angin dan ujung atapnya dihiasi dengan hiasan yang berbentuk kepala kerbau.
b.      Seni tari dan alat musik
Tarian Batak yang dikenal disebut Tortor. Tarian ini dibawakan baik oleh pria maupun wanita yang diiringi dengan alat musik yang  berupa agung, taganing, sarune, dan gesek.
c. Pakaian Adat
Pelengkap pakaian adat suku Batak yang khas adalah kain ulos yang berbentuk segi empat panjang (P : 1.80 M dan L : 1 M )
d.      Sistem Politik
Secara umum kepemimpinan pada masyarakat Batak terbagi menjadi tiga yaitu :
1.       Kepemimpinan adat, kepemimpinan adat tidak berada dalam tangan seorang tokoh, tetapi merupakan suatu musyawarah dari sungkep sitelu
2.       Kepemimpinan pemerintahan, bidang pemerintahan dipegang oleh salah satu keturunan tertua dari marga taneh
3.   Kepemimpinan agama, penganut  agama Islam maupun kristen tokoh agamanya adalah para para ulama dan pendeta, sedang dalam hal kepercayaan diserahkan kepada seorang dukun yang disebut sebagai guru sibaso.

KEBUDAYAAN ACEH



Provinsi Aceh terdiri atas sembilan suku, yaitu Aceh (mayoritas), Tamiang (Kabupaten Aceh Timur Bagian Timur), Alas (Kabupaten Aceh Tenggara), Aneuk Jamee (Aceh Selatan), Aneuk LaotSimeulue dan Sinabang (Kabupaten Simeulue). Masing-masing suku mempunyai budaya, bahasa dan pola pikir masing-masing.
Bahasa yang umum digunakan adalah Bahasa Aceh. Di dalamnya terdapat beberapa dialek lokal, seperti Aceh Rayeuk, dialek Pidie dan dialek Aceh Utara. Sedangkan untuk Bahasa Gayo dikenal dialek Gayo LutGayo Deret dan Gayo Lues.
Di sana hidup adat istiadat Melayu, yang mengatur segala kegiatan dan tingkah laku warga masyarakat bersendikan hukum Syariat Islam. Penerapan syariat Islam di provinsi ini bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, tepatnya sejak masa kesultanan, syariat Islam sudah meresap ke dalam diri masyarakat Aceh.
Sejarah menunjukkan bagaimana rakyat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman dan ulama pun mendapat tempat yang terhormat. Penghargaan atas keistimewaan Aceh dengan syariat Islamnya itu kemudian diperjelas dengan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 menggenai Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dalam UU No.11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh, tercantum bahwa bidang al-syakhsiyah (masalah kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, warisan, perwalian, nafkah, pengasuh anak dan harta bersama), mu`amalah (masalah tatacara hidup sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam), dan jinayah (kriminalitas) yang didasarkan atas syariat Islam diatur dengan qanun (peraturan daerah).
Undang-undang memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk agama lain dijamin untuk beribadah sesuai dengan kenyakinan masing-masing. Inilah corak sosial budaya masyarakat Aceh, dengan Islam agama mayoritas di sana tapi provinsi ini pun memiliki keragaman agama.
Keanekaragaman seni dan budaya menjadikan provinsi ini mempunyai daya tarik tersendiri. Dalam seni sastra, provinsi ini memiliki 80 cerita rakyat yang terdapat dalam Bahasa Aceh, Bahasa Gayo, Aneuk Jame, Tamiang dan Semelue. Bentuk sastra lainnya adalah puisi yang dikenal dengan hikayat, dengan salah satu hikayat yang terkenal adalah Hikayat Prang Sabi (Perang Sabil).
Seni tari Aceh juga mempunyai keistimewaan dan keunikan tersendiri, dengan ciri-ciri antara lain pada mulanya hanya dilakukan dalam upacara-upacara tertentu yang bersifat ritual bukan tontonan, kombinasinya serasi antara tari, musik dan sastra, ditarikan secara massal dengan arena yang terbatas, pengulangan gerakan monoton dalam pola gerak yang sederhana dan dilakukan secara berulang-ulang, serta waktu penyajian relatif panjang.
Tari-tarian yang ada antara lain SeudatiSamanRampakRapai, dan Rapai Geleng. Tarian terakhir ini paling terkenal dan merupakan perpaduan antara tari Rapai dan Tari Saman.
Dalam bidang seni rupa, Rumoh Aceh merupakan karya arsitektur yang dibakukan sesuai dengan tuntutan budaya waktu itu. Karya seni rupa lain adalah seni ukir yang berciri kaligrafi. Senjata khas Aceh adalah Rencong. Pada dasarnya perpaduan kebudayaan antara mengolah besi (metalurgi) dengan seni penempaan dan bentuk. Jenis rencong yang paling terkenal adalah siwah.
Suku bangsa Aceh menyenangi hiasan manik-manik seperti kipas, tudung saji, hiasan baju dan sebagainya. Kemudian seni ukir dengan motif dapat dilihat pada hiasan-hiasan yang terdapat pada tikar, kopiah, pakaian adat, dan sebagainya.

Budaya Bercocok Tanam
bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan lahan. Dalam hal ini, ada lembaga/instansi adat yang berwenang, yakni panglima uteuen yang dibawahi beberapa struktur adat lainnya seperti petua seuneubôk, keujruen blang, pawang glé, dan sebagainya.
sistem pengelolaan hutan sebagai lahan bercocok tanam, fungsi petua seuneubôk tak dapat dinafikan. Seuneubôk sendiri maknanya adalah suatu wilayah baru di luar gampông yang pada mulanya berupa hutan. Hutan tersebut kemudian dijadikan ladang. Karena itu, pembukaan lahan seuneubôk harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi anggota seuneubôk dan lingkungan hidup itu sendiri. Maka fungsi petua seuneubôk menjadi penting dalam menata bercocok tanam, di samping kebutuhan terhadap keujruen blang.asdfghjk
Budaya Membuka Lahan Perkebunan 
bagi masyarakat Aceh terdapat sejumlah aturan yang sudah hidup dan berkembang sejak zaman dahulu. Kearifan masyarakat Aceh juga terdapat dalam larangan menebang pohon pada radius sekitar 500 meter dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air dan kiri-kanan sungai pada daerah rawa, sekitar 100 meter dari tepi kiri-kanan sungai, sekitar 50 meter dari tepi anak sungai (alue).

Pamali atau Pantangan 
Selain itu, dalam adat Aceh dikenal pula sejumlah pantangan saat membuka lahan di wilayah seuneubôk. Pantangan itu seperti peudong jambô. Jambô atau gubuk tempat persinggahan melepas lelah sudah tentu ada di setiap lahan. Dalam adat meublang, jambô tidak boleh didirikan di tempat lintasan binatang buas atau tempat-tempat yang diyakini ada makhluk halus penghuni rimba. Bahan yang digunakan untuk penyangga gubuk juga tidak boleh menggunakan kayu bekas lilitan akar (uroet), karena ditakutkan akan mengundang ular masuk ke jambô tersebut.
Ada pula pantang daruet yang maksudnya anggota suneubôk dilarang menggantung kain pada pohon, mematok parang pada tunggul pohon, dan menebas (ceumeucah) dalam suasana hujan. Hal ini karena ditakutkan dapat mendatangkan hama belalang (daruet).
Selain itu, di dalam kebun (hutan) juga dilarang berteriak-teriak atau memanggil-manggil seseorang saat berada di hutan/kebun. Hal ini ditakutkan berakibat mendatangkan hama atau hewan yang dapat merusak tanaman, seperti tikus, rusa, babi, monyet, gajah, dan sebagainya.
Disebutkan pula bahwa dalam adat Aceh terdapat pantangan masuk hutan atau hari-hari yang dilarang. Karena orang Aceh kental keislamannya, hari yang dilarang itu biasanya berkaitan dengan “hari-hari agama”.
Aceh juga mencatat sejumlah larangan atau pantangan dalam perilaku. Hal ini seperti memanjat atau melempar durian muda, meracun ikan di sungai atau alue, berkelahi sesama orang dewasa dalam kawasan seuneubôk, mengambil hasil tanaman orang lain semisal buah rambutan, durian, mangga, dll. walaupun tidak diketahui pemiliknya, kecuali buah yang jatuh. Larangan tersebut tentunya menjadi cerminan sikap kejujuran dalam kehidupan di bumi yang mahaluas ini.

Adat Bersawah 
Dalam bersawah (meupadé), juga terdapat sejumlah ketentuan demi keberlangsungan kenyaman dan keamanan bercocok tanam. Hal ini seperti hanjeut teumeubang watèe padé mirah. Maksudnya adalah tidak boleh memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau ini dilanggar, dipercaya akan mendatangkan hama wereng (geusong). Demi menghindari sawah sekitar ikut imbas hama wereng, bagi si pelanggar ketentuan itu dikenakan denda oleh keujruen blang.

SUKU ACEH
Suku Aceh adalah nama sebuah suku yang mendiami ujung utara Sumatra. Mereka beragama Islam. Bahasa yang dipertuturkan oleh mereka adalah bahasa Aceh yang masih berkerabat dengan bahasa Mon Khmer (wilayah Champa). Bahasa Aceh merupakan bagian dari bahasa Melayu-Polinesia barat, cabang dari keluarga bahasa Austronesia.
Suku Aceh memiliki sejarah panjang tentang kegemilangan sebuah kerajaan Islam hingga perjuangan atas penaklukan kolonial Hindia Belanda.
Banyak dari budaya Aceh yang menyerap budaya Hindu India, dimana kosakata bahasa Aceh banyak yang berbahasa Sanskerta. Suku Aceh merupakan suku di Indonesia yang pertama memeluk agama Islam[rujukan?] dan mendirikan kerajaan Islam[rujukan?]. Masyarakat Aceh mayoritas bekerja sebagai petani, pekerja tambang, dan nelayan.


Sejarah 
Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa. Leluhur orang Aceh berasal dari Semenanjung MalaysiaChamCochinKamboja.
Di samping itu banyak pula keturunan bangsa asing di tanah Aceh, bangsa Arabdan India dikenal erat hubungannya pasca penyebaran agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut(Negeri Yaman), dibuktikan dengan marga-marga mereka al-Aydrus, al-Habsyi, al-Attas, al-Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain lain, yang semuanya merupakan marga marga bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulamadan berdagang. Saat ini banyak dari mereka yang sudah kawin campur dengan penduduk asli Aceh, dan menghilangkan nama marganya.
Sedangkan bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan Tamil. Dapat dibuktikan dengan penampilan wajah bangsa Aceh, serta variasi makanan (kari), dan juga warisan kebudayaan Hindu Tua (nama-nama desa yang diambil dari bahasa Hindi, contoh: Indra Puri). Keturunan India dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan maka keturunan India cukup dominan di Aceh.
Pedagang pedagang Tiongkok juga pernah memiliki hubungan yang erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho, yang pernah singgah dan menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama Lonceng Cakra Donya, tersimpan di Banda Aceh. Semenjak saat itu hubungan dagang antara Aceh dan Tiongkok cukup mesra, dan pelaut-pelaut Tiongkok pun menjadikan Aceh sebagai pelabuhan transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa.
Selain itu juga banyak keturunan bangsa Persia (Iran/Afghan) dan Turki, mereka pernah datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini keturunan keturunan mereka kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda, dalam nama kota Banda Aceh pun adalah warisan bangsa Persia (Bandar arti: pelabuhan).
Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah Kuala Daya, Lam No (pesisir barat Aceh). Mereka adalah keturunan daripelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan nakhoda Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia), dan sempat singgah dan berdagang di wilayah Lam No, dan sebagian besar di antara mereka tetap tinggal dan menetap di Lam No. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lam No di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lam No, pimpinan Raja Meureuhom Daya. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental.


Tarian 
·         Tari Seudati
·         Tari Rateb Meuseukat
·         Tari Likok Pulo
·         Tari Laweut
·         Tari Pho
·         Tari Ratoh Duek
·         Tari Tarek Pukat
·         Tari Rabbani Wahed
·         Tari Ranup lam Puan
·         Tari Rapa'i Geleng

Masakan 
·         Ayam Tangkap
·         Boh Puniaram
·         Nasi Guri
·         Dalica
·         Eungkot Paya
·         Gulee Eungkot Yee
·         Gulee Itek
·         Kuah Beulangong
·         Kanji Rumbi
·         Keumamah
·         Kuwah Pliëk U
·         Martabak Aceh
·         Masam Keu’euëng
·         Mie Aceh
·         Sambai Asam Udeuëng
·         Sate Matang
·         Sie Reuboh

Kue/Penganan/Kudapan 
·         Timphan
·         Keukarah
·         Meuseukat
·         Halua
·         Cingkhuy (kue khas Lam No)
·         Kuwéh Seupét
·         Kuwah Tuhe/Kuah Peungat
·         Kanji Rumbi
·         Boh Usen
·         Bhoi
·         Sagon
·         Dodoy (dodol)
·         Dughok/Lughok
·         Apam (serabi)
·         Pulot
·         Rujak Aceh
·         Adèe
·         Bada Reuteuek
·         Peunajoh Tho
·         Wajeb
·         Putroe Manoe
·         Ie Bu Peudah
·         Boh Gudok
·         Boh Rom-rom
·         Boh Usen
·         Nyap
·         Ruti Cane

Tokoh 
·         Sultan Iskandar Muda, sultan Aceh terbesar
·         Teungku Chik Di Tiro, mujahid besar penghidup kembali perjuangan Aceh melawan Belanda
·         Tuanku Hasyim Banta Muda, panglima besar angkatan perang Aceh melawan Belanda
·         Teuku Umar, pahlawan melawan Belanda
·         Cut Nyak Dhien, pahlawan perempuan melawan Belanda
·         Cut Nyak Meutia, pahlawan perempuan melawan Belanda
·         Daud Beureu'eh, pemimpin gerakan DI/TII Aceh
·         Teuku Mohammad Hasan, gubernur Sumatera pertama
·         Teuku Nyak Arief, gubernur pertama Aceh
·         Hasan Tiro, pendiri Gerakan Aceh Merdeka
·         Ismail al-Asyi, ulama besar Aceh
·         Teuku Jacob, bapak paleoantropologi Indonesia
·         Jacub Rais, bapak geodesi Indonesia
·         Teuku Markam, pejuang kemerdekaan, pengusaha dan penyumbang 38 kg emas Monas
·         Ibrahim Alfian, sejarawan dan mantan dekan Fakultas Sastra, UGM
·         P.Ramlee, artis legenda Malaysia
·         Tan Sri Sanusi Juned, mantan menteri Malaysia